APA arti kebenaran dalam
perspektif remaja versus orang dewasa? Dan ketika remaja memiliki perspektif
yang berbeda dengan [sebagian] orang dewasa, mereka malah dicap sedang
melakukan pemberontakan negatif.
Stigma
semacam itu bukanlah hal yang mudah untuk diatasi remaja yang terlibat, ada
yang pesimis dan putus asa menyikapinya karena beranggapan bahwa dunia bukanlah
tempat yang baik untuk ditinggali dalam tatanan ideal mereka. Idealisme yang
berbenturan dengan realitas sekitar membingungkan sekaligus menggoyahkan remaja
yang rapuh tersebut untuk terbenam dalam kubangan depresi tak berujung.
Berlawanan
dengan menyikapi pelabelan “memberontak pada dunia orang dewasa” secara negatif
di atas, masih ada yang berusaha untuk optimis melawan stigma negatif tersebut
dengan eksis secara positif; menunjukkan kapasitas diri yang tak terbatas dalam
kehidupan remaja untuk terus digali dan diekspos.
Film
“Solomon’s Perjury” layak kita tonton untuk merenungkan arti kebenaran dan
kepalsuan dalam realitas sekitar, berikut pengaruhnya bagi kejiwaan remaja.
Kita akan memandang secara penuh dalam objektivitas para remaja yang terlibat
dalam menguak kasus bunuh diri yang bias dengan pembunuhan.
Itu
merupakan drakor (drama Korea) yang menarik untuk ditonton siapa pun yang
peduli pada arti hidup itu sendiri, terutama dalam perspektif remaja menyikapi
kehidupan yang sesungguhnya. Apakah dunia remaja itu? Dunia pelajar SMA yang
digambarkan para sineas Korea.
Ada
12 episode, setiap episode menggambarkan ketegangan dari aspek permasalahan
yang dihadapi. Bagaimana sebagian remaja, siswa SMA Jeong-guk, menyimulasikan
persidangan olah perkara untuk menguak kasus; apakah kematian salah seorang
teman sekelas mereka di kelas 2-1 murni bunuh diri atau pembunuhan.
Secara
subjektif, saya kagum pada kemampuan sineas sana dalam mengolah tema kehidupan
yang berkaitan dengan remaja. Sebuah tema film yang berbeda dengan genre
kebanyakan. Lebih mengekspos aspek psikologis dalam kehidupan mereka secara
wajar, bukan melodrama percintaan ala Cinderella, sebuah kehidupan biasa para
remaja dengan masing-masing persoalan yang membelitnya.
Bukan
sebuah dunia penuh hura-hura melainkan keakraban yang coba dijalin antarsesama
mereka ketika melibatkan diri untuk menguak tabir apa yang sebenarnya terjadi
pada hidup teman sekelas mereka, Lee So Woo. Apakah bunuh diri atau murni
pembunuhan. gara-gara surat dakwaan anonim yang menuduh Choi Woo Hyuk membunuh
So Woo di atap sekolah SMA Jeong-guk pada tengah malam Natal.
Kekuatan
suatu drama ada pada aspek skenario yang didukung para pemain dan kru film.
Skenario yang berbeda dengan tema detektif sangat menarik. Kita diajak ikut
terlibat dalam teka-teki, sebuah misteri dalam balutan psikologis. Shoot adegan lebih diarahkan untuk
membidik reaksi mereka yang terlibat secara emosional, apakah diam atau
perubahan mimik muka sampai gestur.
Namun
yang lebih menarik lagi, “Solomon’s Perjury” (“Sumpah Palsu Solomon”)
benar-benar fokus menyimulasikan adegan persidangan pengadilan dalam auditorium
sekolah, mirip dengan persidangan sesungguhnya di pengadilan. Secara emosi,
kita diajak terlibat atau melibatkan diri; entah sebagai penonton, jaksa,
pengacara, hakim, penyelidik, pelaku, atau pihak lain yang berseberangan maupun
mendukung.
Ditilik
dari judul saja, “Solomon’s Perjury” merupakan simulasi apakah
kebenaran itu bisa dikuak meski lewat pernyataan sumpah (baca: dakwaan) palsu
seorang korban perisakan (bullying),
Lee Joo Ri dengan motif tertentu untuk menuduh sang pelaku (Choi Woo Hyuk)
sebagai pembunuh dan penyebab kematian Lee So Woo -- karena Woo Hyuk dikenal
sebagai biang onar dan kerap merisak siswa lain di sekolah tersebut dengan
sikap tirannya.
Ada
alasan mengapa secara subjektif saya tetap menontonnya per episode sampai
tamat, tak beralih pada koleksi judul drakor lain (hasil sedot dari laptop Ai
Ghina), menghabiskan berjam-jam per hari untuk tuntas menyaksikan. Rasa
penasaran mampu membuat seorang penonton rela meluangkan waktunya yang berharga
jika disuguhi tontonan apik persembahan sepenuh hati sineas dan krunya.
Banyak
ketegangan yang menggantung per
episodenya. Ketakterdugaan bisa memuaskan hasrat penonton untuk melebur dalam
peristiwa di film tersebut. Boleh dikata, meski drakornya tidak bertumpu pada
pengadegan canggih action atau thriller yang menitikberatkan efek
khusus, ada nilai lebih ketika pemain berupaya menghidupkan peran dan suasana
dengan akting mereka. Spontan dan tak berlebihan. Mereka benar-benar serius
menghayati peran, entah apakah sebagai pemain “Solomon’s Perjury” atau
sekelompok remaja yang sedang memainkan peran pelaku dalam persidangan.
Salut!
Cipeujeuh, 27 Februari 2017
#Drakor #Solomon’sPerjury #Review
#Remaja #Korea #GenreDetektif #Bullying #Risak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah singgah, silakan tinggalkan jejak komentar sebagai tanda persahabatan agar saya bisa lakukan kunjungan balik. Komentar sebaiknya relevan dengan isi tulisan. Nama komentator tidak langsung mengarah ke URL pos blog agar tidak menambah beban jumlah link pemilik blog ini. Jangan sertakan link hidup dan mati, apalagi iklan karena termasuk spam.Terima kasih banyak. Salam. @rohyatisofjan