HUJAN adalah sumber
inspirasi tak bertepi bagi saya untuk meruahkan rasa hingga menjelma puisi.
Meski pada akhirnya puisi yang saya tulis dalam suasana hujan gagal merangkai
momen puitik. Hujan pula mengingatkan saya pada
peristiwa lampau atau yang barusan terjadi. Hal-hal aktual atau faktual.
Singkatnya, hujan seakan membuat saya trance
dalam stimung bawah sadar.
Saya
bukan orang yang mahir mengolah kata karena kedalaman pikiran kerap tak
diimbangi dengan pengetahuan. Pun filosofi hidup saya yang tecermin dalam puisi
menggambarkan bagaimana saya ini. seseorang
yang terbiasa berpikir secara sederhana tanpa pemahaman intisari falsafah pemikir besar.
Saya
selalu merindukan hujan dengan harapan bisa bersua momen puitik untuk mencipta
puisi terbaik. Namun apa, sih, acuan terbaik itu? Hanya terbaik dalam versi
saya atau mengikuti orang lain?
Seumur
hidup ini, berapa banyak puisi yang telah saya baca dari kanak sampai dewasa.
Dan kapan saya menganggap puisi adalah hal serius? Makanan bagi jiwa.
Saya
selalu tanpa sadar butuh membaca puisi. Maka ketika kanak, remaja, sampai
dewasa kebutuhan akan puisi berupaya dipenuhi. Dan pemenuhan itu tak selalu
dengan cara disengaja, kadang pula tak disengaja yang seakan memang harus
tampak wajar adanya.
Ketika
menikah perasaan saya terhadap puisi seakan berbeda, saya kurang merenung
dibanding masa lajang. Mungkin saya tak punya waktu untuk sungguh-sungguh
melakukan kegiatan perenungan yang menghasilkan puisi. Atau jatuh cinta adalah
tema besar yang merangsang saya untuk berpuisi?
Dan
sekarang saya tidak sedang jatuh cinta pada seseorang seperti dulu lagi, maka
saya tidak punya alasan untuk menulis puisi tentang cinta yang berkesan
mengumbar hal gombal. Saya telah melabuhkan hati pada suami sampai sekarang.
Hanya saja, saya tak bisa mengekspresikan rasa ke dalam puisi tentang suami.
Mungkin karena hubungan kami seakan telah menjadi semacam kewajaran sehingga
kurang getar-getar asmara selain ketenangan yang mendalam. Jadi saya merasa
sulit mengungkapkan.
Namun
saya masih mengingat nama lelaki yang pernah singgah mengisi hati. Lelaki yang telah
membuat saya jatuh cinta. Lelaki yang membuat saya menulis sekian banyak puisi.
Lelaki demikian adalah lelaki yang istimewa karena tak menyodorkan luka bagi
perjamuan rasa saya.
Lelaki
yang menjadi subjek cinta platonis jilid lima adalah seseorang yang tanpa disadari
sebagai sosok yang membuat saya jatuh cinta secara dewasa. Itu bukan cinta
monyet kala remaja. Itu adalah pengantar saya untuk membuka lebih banyak pintu
tuju dengan keberanian. Cinta itulah yang mengantarkan saya hingga menjadi
seperti sekarang.
Pada
hakikatnya puisi memberi saya suasana tersendiri, yang seakan menarik saya ke
dalam pusaran dimensi asing lewat kata-kata ajaib nan putik yang bergulir.
Saya
suka puisi, dengan membaca atau menulis puisi seakan merupakan jeda dari
rutinitas pengap yang memenatkan jiwa.
Dan
seorang penyair yang karyanya begitu sangat menggugah saya kala remaja (baru
kelas 1 MTs. pada tahun 1992) adalah Acep Zamzam Noor dengan buku kumpulan
puisi yang saya lupa judulnya apa. Ada satu puisi yang membuat saya merinding
kala itu karena terasa berbeda dengan sekian puisi lain yang sudah dibaca.
Mungkin
begini isinya dalam sisa ingatan saya yang sayup: Aku kini doa/ Berbaringlah di sini dan lupakan cakrawala atau
(dunia?)….
Kala
menulis ini, saya iseng mengetik kata kunci ke dalam mesin pencari dan
menemukan video menarik dari Peter Hayat yang melagukan syair “Aku Kini Doa”
karya Acep Zamzam Noor. Silakan tonton di sini: https://www.youtube.com/watch?v=BWDp_lAMcMI
"Aku Kini Doa", Puisi Acep Zamzam Noor, Musikalisasi Puisi oleh Peter Hayat dan Kawan-kawan.
Ah,
bicara tentang puisi, saya rasa harus akhiri. Palung sudah pulang sekolah.
Saatnya bagi kami untuk ke pasar kecamatan, beli baju lebaran untuk Palung.
Palung
adalah puisi nyata dalam hidup saya dan suami.
Kaulah puisi itu, bahwa
hadirmu
kunci pembuka pintu menuju
bahagia.
Saya
berharap selalu bisa menulis puisi kapan saja, tak membutuhkan hujan sebagai
mediumnya. Meskipun demikian, saya selalu membutuhkan hujan karena suasananya
kerap membawa saya pada muram tak terdefinisikan.
Salam
puisi.
Cipeujeuh, 18 Mei 2018
~Foto hasil capture pakai
GOM Player dari drakor “Go Back Couple”~
~Foto Acep Zamzam Noor dari blognya di http://puisi-acepzamzamnoor.blogspot.com/
#Litera #Hujan #Puisi #Cinta #AkuKiniDoa
#CintaPlatonis #AcepZamzamNoor
Kalau disuruh pilih, saya lebih baik membuat pantun daripada puisi, apalagi disuruh membaca puisi hehe... Dulu pernah membuat puisi dan puisi saya dibacakan oleh saudara di acara keluarga besar, mendapat apresiasi senang rasanya. Padahal waktu membuatnya mendadak saat di perjalanan menggunakan mobil menuju acara keluarga besar tersebut. Kebetulan saja kata-katanya keluar begitu saja sambil mengamati lingkungan sekitar. Tapi, sekarang tidak diseriuskan
BalasHapusLuar biasa. Jangan menyerah, teruslah berpuisi. Karena puisi adalah semangat hidup dalam khayal dan nyata. Hidup kita adalah puisi yang bisa kita lakoni sesuai skenario yang kita buat sendiri. Semangat terus !!!
BalasHapusLuar biasa. Jangan menyerah, teruslah berpuisi. Karena puisi adalah semangat hidup dalam khayal dan nyata. Hidup kita adalah puisi yang bisa kita lakoni sesuai skenario yang kita buat sendiri. Semangat terus !!!
BalasHapusDengan berpuisi katanya bisa mengasah kepekaan nurani dan jiwa ya mbak..sy suka dengerin org bc puisi tp klo sy yg baca puisi ga pede deh
BalasHapusHiks, klo teteh yg udh ngehasilin buku dibilang tidak pandai mengolah kata, apa kabarnya sayaaaa? Sy mah yakin teh Rohayati gak perlu nunggu hujan jg bisa bikin puisi berbait-bait.
BalasHapusBener banget, hujan itu seolah jadi tali untuk mendapatkan inspirasi. Suka jadi lebih gampang gitu bikin kata2 klo lagi hujan
BalasHapusSaya sendiri sebenarnya cukup menyukai puisi. Tetapi saya masih sulit untuk bisa membuat puisi yang bagus. Kesulitan saya adalah masih binggung dalam pemilihan kata yang tepat. Sampai saat ini saya terus belajar membuat puisi yang bagus. Ada beberapa sastrawan yang puisinya saya jadikan rujukan untuk membuat puisi, misalnya eyang Sapardi Djoko Damono. Puisi beliau sangat bagus, pemilihan katanya sungguh indah dan memikat.
BalasHapusSaat Mbak Rohyati masuk MTs, saya lulus SMA 😁
BalasHapusBtw, saya tertarik dengan ini, Mbak:
Mungkin karena hubungan kami seakan telah menjadi semacam kewajaran sehingga kurang getar-getar asmara selain ketenangan yang mendalam
Nah, saya pengen baca puisi tentang "ketenangan mendalam" dari Mbak Rohyati. Mungkin perlu dicari benang merahnya kali ya. Bagaimana dulu membuat puisi asmara. Rasa yang mirip-mirip itu ada kan ya ...
Kalau Mbak Rohyati sudah lama senang puisi, saya percaya bisa bikin lagi. Dan entah kenapa kok pengen sekali baca puisi buatan Mbak.
Soalnya saya hanya pengagum orang bisa bikin puisi. 😍
saya juga duka dengan hujan teteh, meski saya alergi air hujan kalau udah kedinginan bisa menggigil, pasti kalau hujan depan jendela akan menikmatinya, dan kemudian akan tercipta deretan puisi indah mengenang banyak hal, termasuk berpuisi untuk lelakiku yang selalu ada buat aku dalam suka dna duka
BalasHapusKalau sama Jeung Rohyati, semua bisa jadi puisi ya, dunia indah penuh kata bermakna.. entah kenapa sekarang masih buntu untuk nulis puisi lagi, mungkin karena terlalu sibuk, atau memang belum ada ide aja
BalasHapus